RSS
Tidak ada Yang Tidak Mungkin Untuk Orang Yang Mau Berusaha
Text Select Onion Kun

Selasa, 01 Februari 2011

MESIR MEMANAS, Timur Tengah Bergejolak ?

Mencermati konstelasi politik di Timur Tengah terutama semenjak Revolusi di Tunisia, kini menginspirasi hal serupa di beberapa negara lainnya di kawasan Timur Tengah.Demonstrasi di Mesir adalah demonstrasi besar - besaran yang terjadi di seluruh Mesir menuntut agar Presiden Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama 30 tahun untuk melepaskan jabatannya. Aksi ini merupakan salah satu aksi revolusi seperti yang terjadi di Tunisia. Pemerintah berusaha meredam usaha para demonstran yang menggalang aksinya dari internet dengan cara memberhentikan saluran internet dan komunikasi hingga batas waktu yang tidak ditentukan.Putra dari Presiden, Gamal Mubarak dilaporkan telah meninggalkan Mesir dan menuju London bersama keluarga


Sekilas tentang Mesir:

Republik Arab Mesir, lebih dikenal sebagai Mesir, (bahasa Arab: مصر, Maṣr) adalah sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika bagian timur laut.

Dengan luas wilayah sekitar 997.739 km² Mesir mencakup Semenanjung Sinai (dianggap sebagai bagian dari Asia Barat Daya), sedangkan sebagian besar wilayahnya terletak di Afrika Utara. Mesir berbatasan dengan Libya di sebelah barat, Sudan di selatan, jalur Gaza dan Israel di utara-timur. Perbatasannya dengan perairan ialah melalui Laut Tengah di utara dan Laut Merah di timur.

Mayoritas penduduk Mesir menetap di pinggir Sungai Nil (sekitar 40.000 km²). Sebagian besar daratan merupakan bagian dari gurun Sahara yang jarang dihuni.

Mesir terkenal dengan peradaban kuno dan beberapa monumen kuno termegah di dunia, misalnya Piramid Giza, Kuil Karnak dan Lembah Raja serta Kuil Ramses. Di Luxor, sebuah kota di wilayah selatan, terdapat kira-kira artefak kuno yang mencakup sekitar 65% artefak kuno di seluruh dunia. Kini, Mesir diakui secara luas sebagai pusat budaya dan politikal utama di wilayah Arab dan Timur Tengah.



Protes antirezim Hosni Mubarak yang telah memimpin Mesir 30 tahun terakhir memasuki hari ketujuh, Senin (31/1/2011). Protes berdarah tersebut telah menewaskan sedikitnya 125 orang.

Belum ada tanda-tanda protes akan berakhir meski Mubarak telah menunjuk Kepala Intelijen Omar Suleiman sebagai wakil presiden, Sabtu. Posisi wakil presiden merupakan jabatan baru yang tidak pernah ada selama 30 tahun Mubarak berkuasa.

Siapakah Mubarak dan Keluarganya?
KOMPAS.com — Dengan mempertahankan cengkeraman tangan besinya di Mesir selama 30 tahun, Hosni Mubarak disejajarkan dengan Firaun. Namun, meski kekayaan pribadinya—diperkirakan mencapi 31 miliar dollar AS—bisa diperbandingkan dengan penguasa kuno negara itu, popularitasnya di kalangan rakyat Mesir tidak meyakinkan.

Selama kekuasaannya yang tanpa perlawanan, ia memang relatif berhasil mempertahankan stabilitas negara sambil menikmati hubungan baik dengan Barat dan Israel. Namun, itu bukan tanpa harga. Banyak lawannya mengeluhkan kemiskinan, korupsi, dan kebrutalan yang dilakukan negara.

Mubarak menikah dengan Suzanne, putri seorang perawat dari Pontypridd, Wales, Inggris. Mantan perwira angkatan udara yang sudah berumur 82 tahun itu lolos setidaknya enam kali dari upaya pembunuhan. Ia lahir tahun 1928 di desa Kahel-el-Meselha di Delta Sungai Nil dan lulus dari Akademi Militer Mesir tahun 1949. Ia sepertinya ditakdirkan untuk berkarier di angkatan bersenjata.

Setelah perang Arab-Israel tahun 1973, ia dipromosikan menjadi marsekal di angkatan udara. Setelah itu terbukalah pintu ke kekuasaan politik. Sebagai seorang pelayan setia Presiden Anwar El-Sadat, ia diangkat menjadi wakil presiden tahun 1975 dan memainkan peran penting dalam memperkuat hubungan Mesir dengan Barat.

Kariernya ke jabatan politik tertinggi terjadi pada Oktober 1981 ketika Presiden Sadat dibunuh oleh ekstremis Islam. Didukung oleh kondisi negara yang senantiasa darurat, Mubarak memperkokoh jabatannya dengan menentang ekstremisme Islam dan menjaga hubungan baik dengan Amerika Serikat.

Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menikmati keramahan Mubarak di vila mewahnya di resor Laut Merah Sharm-el-Sheikh ketika Blair berlibur di sana dengan keluarganya. Keluarga Mubarak juga diketahui memiliki properti di Los Angeles, Washington, dan New York, serta aset yang tersimpan dalam rekening bank di Amerika Serikat, Swiss, dan Inggris.

----
Meski di depan umum ia menyangkal soal keinginan menggantikan ayahnya, banyak pengamat melihat suksesi kekuasaan, dari ayah ke anak itu, sebagai hal yang tak terelakkan. Namun, dengan cengekeraman Mubarak yang melemah dalam hitungan jam, menyusul protes antipemerintah yang memasuki hari ketujuh pada hari ini (Senin, 31/1/2011) , dia dan keluarganya akan segera mencari rumah baru di negara yang mau menampung mereka.

Mesir Genting, SBY Perintahkan Evakuasi Udara

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan semua warga Indonesia yang saat ini ada di Mesir dievakuasi lewat udara. Perintah ini menyusul kondisi terakhir di negara piramida yang semakin memburuk. "Untuk mengamankan dan menyelamatkan warga," katanya dalam jumpa pers seusai rapat terbatas di Kantor Presiden, Senin (31/1).

Evakuasi akan dilakukan lewat udara, menggunakan pesawat Garuda Indonesia dan pesawat-pesawat lain yang tersedia.

Yudhoyono membentuk Satuan Tugas khusus untuk menangani evakuasi 6.149 warga Indonesia yang tercatat kini ada di Mesir. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Nur Hassan Wirajuda ditunjuk sebagai ketuanya, dan Wakil Ketua Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Madya Sukirno.

"Pertimbangan saya, Pak Hassan adalah mantan Duta Besar di Mesir, dan mantan Menteri Luar Negeri, sehingga cakap dan tepat untuk memimpin tugas ini," tuturnya.

Yudhoyono memerintahkan malam ini juga tim pendahulu harus segera berangkat ke Kairo untuk mempersiapkan evakuasi. Pemerintah juga bersiap mengangkut logistik yang diperlukan warga namun kini sulit diperoleh.

Ia menambahkan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa bakal memanggil Duta Besar Mesir di Indonesia untuk mengkoordinasikan evakuasi, serta meminta dukungan dan kerja samanya.

Dalam Satuan Tugas yang dibentuk Yudhoyono, terdapat pula unsur dari sejumlah kementerian dan tentara, antara lain Kementerian Perhubungan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Kesehatan, serta TNI.

Kementerian Luar Negeri mencatat dari 6.149 warga Indonesia di Mesir, 4.297 orang adalah mahasiswa, dan 1.002 orang Tenaga Kerja Indonesia. Sisanya ialah warga lain yang berdomisili di sana, termasuk staf Kedutaan Besar RI dan keluarganya.

WASHINGTON, KOMPAS.com - Berbagai negara di belahan dunia memperingatkan warganya untuk tidak mengunjungi Mesir. Sejumlah negara bahkan mulai mengevakuasi warganya, Minggu (30/1/2011), saat protes berdarah anti-pemerintah memasuki hari ke tujuh.

Amerika Serikat (AS) dan Irak mengatakan mulai mengatur evakuasi bagi warganya, sementara Turki, India, Yunani, Kanada, dan Arab Saudi berencana atau sudah mengirimkan pesawat untuk memulangkan warga mereka. Inggris, Perancis, China, Australia, Argentina dan negara-negara Skandinavia memperingatkan warganya untuk tidak melakukan perjalanan ke Mesir tetapi belum punya rencana untuk melakukan evakuasi dalam skala penuh.

"Warga AS di Mesir harus mempertimbangkan untuk segara meninggalkan (negara itu) sesegera yang mereka bisa lakukan," kata Asisten Menteri Luar Negeri, Janice Jacobs, kepada wartawan. AS berencana untuk mulai mengevakuasi warganya, Senin ini, dengan pesawat-pesawat yang disewa pemerintah. Athena, Istanbul dan Nicosia telah diidentifikasi sebagai safe havens. Jacobs tidak mengetahui persis jumlah warga Amerika di Mesir.

Irak mengatakan akan bergantung pada penerbangan-penerbangan khusus dalam mengevakuasi warganya dari Mesir, sementara Turki mengatakan, pihaknya mengirim lima pesawat untuk mengevakuasi sekitar 750 warganya yang terdaftar. Arab Saudi mengatakan akan mengatur 33 penerbangan antara Sabtu dan Senin untuk membawa pulang warganya. India mengirim sebuah pesawat penumpang ke Kairo untuk mengevakuasi warganya. Hal yang sama dilakukan Azerbaijan, yang mengatakan salah seorang staf kedutaannya tewas akibat luka tembak dalam kerusuhan. Pemerintah Kanada merekomendasikan kepada warganya agar meninggalkan negara itu, kata Menteri Luar Negeri, Lawrence Cannon, Minggu. Ottawa merencanakan untuk menyewa sejumlah pesawat guna membawa warga Kanada ke titik evakuasi di Eropa, mungkin mulai Senin.

Sementara Inggris menyarankan warganya untuk meninggalkan kota-kota yang bergolak di Mesir, tetapi sejumlah operator tur menekankan, tidak perlu menarik wisatawan dari resor-resor populer di Laut Merah. Kantor Departemen Luar Negeri Inggris hanya menyarankan perjalanan penting ke Kairo, Alexandria, Suez dan Luxor. "Kami ingin orang mengambil kesempatan jika mereka bisa meninggalkan (Mesir)... tapi saat ini situasi belum mencapai tahap di mana kami harus mempertimbangkan penyewaan pesawat," kata Menteri Luar Negeri, Alistair Burt, kepada BBC. Kantor departemen luar negeri Inggris mengatakan, sekitar 30.000 warga Inggris berada di Mesir.

Perancis juga memperingatkan agar tidak melakukan perjalanan yang tidak penting ke Mesir, tetapi Jurubicara Kementerian Luar Negeri Perancis, Bernard Valero, mengatakan, Paris belum mempertimbangkan untuk mengevakuasi sekitar 10.000 warganya di negeri itu. "Kami memiliki kapasitas untuk bereaksi jika perlu," kata Valero kepada AFP. Ia menambahkan, Perancis terus memonitor situasi di Mesir dan bekerja sepenuhnya untuk membantu warganya.

Di Australia, kementerian luar negeri negara itu menaikkan travel warning dari "mempertimbangkan kebutuhan Anda untuk melakukan perjalanan" menjadi "jangan melakukan perjalanan" ke Mesir. Perdana Menteri Julia Gillard mengatakan, ada 870 warga Australia yang terdaftar di Mesir tetapi angka yang sebenarnya "mungkin berjumlah ribuan".

Kedutaan Besar China di Kairo dalam situs web-nya mengatakan, kementerian luar negeri di Beijing telah mengeluarkan peringatan 'merah" pada hari Minggu yang meminta warga China tidak melakukan perjalanan ke Mesir. China juga mendesak warganya di Mesir untuk berhati-hati dan tidak keluar rumah kecuali jika diperlukan. Pihak China menambahkan, 300 warganya telah terdampar karena pembatalan penerbangan.

Rusia mengatakan tidak punya rencana untuk segera mengevakuasi sekitar 40.000 warganya dari Mesir. "Tidak ada alasan untuk mengevakuasi wisatawan Rusia dari Mesir saat ini," kata seorang jurubicara badan pariwisata negara itu, Oleg Moseyev, kepada kantor berita Ria Novosti. "Orang-orang (Rusia) terus berangkat menuju resor-resor tepi laut negara itu," katanya. Ia menambahkan, hanya tiga orang turis Rusia yang telah meminta operator tur mereka untuk memperpendek perjalanan singkatnya.

Sebuah operator tur Belgia, Jetair, mengumumkan, perusahaan itu mengevakuasi semua kliennya dari Mesir tetapi pemerintah negara itu mengatakan tidak mengatur evakuasi skala penuh. "Untuk saat ini, kami tidak membayangkan untuk mendesak warga Belgia yang tinggal di Mesir meninggalkan negara itu atau mengatur evakuasi," kata seorang jurubicara kementerian luar negeri Belgia, meskipun peringatan perjalanan ke Mesir telah dikeluarkan.

Argentina juga mendesak warganya hari Minggu untuk menghindari perjalanan ke Mesir sampai keadaan kembali normal.

Akhir "Status Quo" Timur Tengah?

DIAM-DIAM dunia Barat menikmati status quo di negara-negara yang dipimpin tiran atau diktator selama kepentingan mereka dilayani dan diuntungkan. Pelanggaran hak asasi manusia dan prinsip-prinsip demokrasi—yang selalu mereka tentang—dibiarkan terjadi di negara-negara itu.

Di permukaan, negara-negara Barat, seperti Amerika Serikat, terus menyerukan penegakan hak asasi manusia, kebebasan berekspresi, dan demokrasi. Namun, saat kesadaran akan hak-hak tersebut benar-benar bergaung di negara sestrategis Mesir, AS dan sekutunya dihadapkan pada dilema.

Demonstrasi menentang rezim Presiden Hosni Mubarak, yang dianggap otoriter, telah memasuki hari keenam. Lebih dari 100 orang tewas dalam bentrokan antara petugas keamanan dan demonstran di seluruh Mesir.

AS harus membuat pilihan sulit, mendukung perjuangan demokrasi demonstran atau membela sekutu kuncinya selama 30 tahun. Beberapa hari terakhir, Presiden AS Barack Obama telah mengeluarkan pernyataan keras yang mendesak Mubarak segera melakukan reformasi politik dan ekonomi serta menghentikan kekerasan terhadap demonstran.

Namun, AS juga terlihat hati-hati menentukan sikap terhadap Mubarak. Sebab, setiap indikasi meninggalkan Mubarak akan menimbulkan risiko yang tidak kecil bagi AS dan sekutu-sekutunya di Eropa.

Mesir adalah sekutu AS paling penting di Timur Tengah. Di bawah Presiden Anwar Sadat, Mesir adalah negara Arab pertama yang menandatangani perjanjian damai dengan Israel pada 1979 di Camp David, AS.

Bagi Israel, perjanjian damai dengan Mesir itu sangat besar artinya. Di satu sisi Israel tak perlu lagi risau akan risiko perang dengan Mesir, seperti pada 1948, 1956, 1967, dan 1973.

Di sisi lain, Mesir juga menjadi satu-satunya jembatan bagi Israel untuk berdialog dengan dunia Arab dan berperan besar dalam membatasi ruang gerak kelompok garis keras Hamas di Jalur Gaza.

Itu sebabnya, dalam pernyataan publik pertama sejak krisis Mesir pekan lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Minggu (30/1), menekankan pentingnya menjaga perdamaian dengan Mesir dan bagaimana mengembalikan stabilitas dan keamanan di kawasan itu.

”Mimpi terburuk geopolitik bagi Israel adalah ada negara Arab berpenduduk terbesar dalam kondisi instabilitas politik berada tepat di depan pintu. Ini mengubah seluruh perimbangan kekuatan di Timur Tengah,” tuturnya.

Kemungkinan lengsernya Mubarak juga membuka peluang bangkitnya kelompok anti-Israel, seperti Ikhwanul Muslimin (Muslim Brotherhood). Lembaga pengamat intelijen Stratfor Global Intelligence bahkan mengeluarkan Tanda Bahaya Merah, Sabtu, untuk mengingatkan saat ini banyak anggota Hamas (salah satu cabang Ikhwanul Muslimin) masuk ke Mesir dari Gaza untuk memperkuat demonstrasi anti-Mubarak.

Kemungkinan Mesir dikuasai rezim anti-Barat juga membuka risiko lebih mengerikan, yakni ditutupnya Terusan Suez, urat nadi perekonomian dunia yang menghubungkan Eropa-Asia.

Menlu Inggris William Hague mengatakan, siapa yang akan memerintah Mesir tak ditentukan oleh masyarakat di luar Mesir. Namun, ia menegaskan, ”Tentu saja kami tak ingin ada pemerintahan yang berbasis pada Muslim Brotherhood.”

Namun, membela mati-matian Mubarak untuk bertahan pun berisiko besar. Selain membuktikan kemunafikan retorika Barat tentang HAM dan demokrasi, mereka juga akan ditentang Mesir dan dunia Arab.

”AS dan Eropa hanya bisa menunggu perkembangan situasi dan berusaha untuk tak terlalu memusuhi siapa pun yang akan keluar sebagai pemenang (di Mesir),” ungkap Nigel Inkster, mantan Wakil Kepala Dinas Intelijen MI6 Inggris, yang menjadi pengamat di International Institute for Strategic Studies, London.

Dengan demonstrasi menuntut mundurnya penguasa juga terjadi di Yaman dan Jordania, terancamnya posisi Presiden Palestina Mahmoud Abbas pasca-kebocoran Dokumen Palestina di Al-Jazeera, terbentuknya pemerintahan baru yang diduga pro-Hezbollah di Lebanon, dan kebuntuan perundingan soal nuklir dengan Iran, kiranya status quo sudah berakhir di Timur Tengah. (Reuters/AFP/AP/DHF)



dikutip dari berbagai sumber

Tidak ada komentar:

Posting Komentar